LANGIT YANG SAMA DI ATAS DESA
Автор: Media Desa Sirnarasa
Загружено: 2025-12-06
Просмотров: 287
“LANGIT YANG SAMA DI ATAS DESA”
Di bawah langit yang sama, Di atas Desa, tempat orang-orang dari berbagai suku hidup berdampingan dengan damai. Desa ini sederhana, tapi menyimpan persoalan nyata, banyak anak-anak yang tidak sekolah bukan hanya karena faktor ekonomi, tapi juga karena kurangnya motivasi dan karena sudah kehilangan semangat belajar.
Aida, gadis Jawa yang baru lulus kuliah di kota, memutuskan kembali ke kampung halamannya. Berbeda dari teman-temannya yang mengejar karier, Aida justru memilih kembali ke kampung karena hatinya terpanggil meliha banyak anak yang kehilangan semangat belajar.
Suatu pagi ia bertemu Cecep, pemuda Sunda yang rajin dan suka bercanda, yang selalu menyapa dengan tawa di pematang sawah. Di pagi itu, langkah mereka berhenti di depan bangunan Baru yang terbuka dan lumayan luas yakni bangunan penyimpanan sementara hasil panen, yang pada saat itu kosong karena belum masa panen bangunan tersebut di samping kandang ayam petelur milik Sigit, pria Batak yang keras tapi berhati baik. Aida berandai-andai Kalau bangunan ini bisa dipakai buat tempat belajar anak-anak yang nggak sekolah selama para petani belum panen tempat tersebut di manfaatkan untuk tempat belajar.
Tak lama, Omen, gadis Papua yang sedang Magang di Puskesmas di desa tersebut, mendengar ide Aida. Ia mengusulkan agar mereka meminta izin kepala desa untuk menjadikan bangunan itu di jadikan taman belajar. Mereka pun sepakat setelah kegiatan masing-masing selesai bertemu sore harinya di warung Ruslan, pemuda Minang yang suka bercanda dan pintar merangkai kata.
Di warung yang penuh aroma Teh Hangat, Aida, Cecep, dan Omen berdiskusi. Tak lama, Sigit datang, lalu ikut nimbrung. Bobi, pemuda Bali yang kebetulan lewat juga tertarik. Dari obrolan ringan di warung itu, lahirlah semangat bersama lintas suku, lintas budaya — semangat kebhinekaan yang tumbuh alami dari pertemanan dan tujuan mulia.
Ke esokan harinya Dengan semangat bersama, Aida,Cecep,Omen mendatangi kepala desa. Pak Kades menyambut dengan hangat dan memberi restu, sambil mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan sejatinya adalah wujud nyata nilai-nilai Pancasila — gotong royong, kemanusiaan, dan persatuan tanpa pamrih. Kata-kata itu membakar semangat mereka semua.
Pada Sore hari Setelah Paginya datang ke Kantor Desa kemudian, di saung-saung nuansa Bali milik Bli Bobi, tampak Cecep dan Omen datang membawa cat dan meja kecil. Percakapan mereka ringan tapi penuh makna. Cecep, bercanda soal cat yang tumpah di celananya. Omen dari Papua bercerita tentang filosofi “Satu tungku satu api” simbol persaudaraan dan saling menghangatkan. Bobi dari Bali menimpali dengan pepatah “Menolong tan hana wangenan”, yang berarti menolong tanpa batas. Mereka tertawa, bersenda gurau dalam logat masing-masing, tapi satu semangat menyatukan perbedaan bukan penghalang untuk berbuat baik.
Keesokan harinya, para pemuda mulai bergotong royong. Cecep memaku papan, Omen & Aida menyapu Dan mengepel Lantai, Bobi mengecat papan, Sigit juga membantu ada pula perwakilan dari desa. Kemudia Omen & Cecep mengecat dan menulis Nama Tempat Taman Belajar “Taman Belajar Langit Yang Sama.” Kemudian Aida membimbing anak-anak membaca, sambil tertawa riang.
Sementara itu malam harinya, di rumah sederhana, Aida, penggerak taman belajar, menjelaskan pada adiknya, Viona, tentang alasan ia begitu bersemangat membangun taman belajar. Aida juga menjelaskan bagaimana taman belajar itu lahir dari gotong royong,ada Cecep dari Sunda, Omen dari Papua, Bobi dari Bali,Sigit dari Batak, dan Ruslan dari
Доступные форматы для скачивания:
Скачать видео mp4
-
Информация по загрузке: