MEMBACA KARTINI Bagian 2: Pendidikan, Literasi, dan Politik Etis Kartini | NGO-PHI # 20
Автор: Yayasan YAPHI
Загружено: 2025-04-30
Просмотров: 140
“Panggil saya Kartini saja_begitu nama saya.” Kartini menuliskan kalimat itu dalam surat pertamanya kepada sahabat penanya nun jauh di negeri Belanda, Eropa. Kartini bersahabat lewat guratan pena dengan Estella “Stella” Zeehandelaar. Mereka terpisah jarak, RA. Kartini tinggal di Rembang, Stella bekerja di kantor pos Amsterdam. Sejarah kolonialisme antara “penjajah” dan “yang dijajah” serta terminologi antara “gelap” dan “terang” tentang kondisi tersebut, membuat surat-surat yang ditulis oleh Kartini bukanlah surat biasa. Torehan pena yang berbahasa Belanda itu adalah bukti sejarah.
Kartini yang bergelar Raden Ajeng, lahir dari seorang selir atau garwa ampil Bupati Jepara, RMAA Sosroningrat menjalani kegelisahan tentang laku hidup perempuan Jawa yang dililit oleh aturan adat, patriarki, ketidakadilan, peminggiran, penjajahan sehingga menjadikannya pemberontak, dan seorang aktivis dan pemikir di zamannya. W.R. Supratman bahkan dalam lagunya “Ibu Kita Kartini” menyebut bahwa Kartini adalah “pendekar kaumnya”. Selama hidup 25 tahun, Kartini gelisah, banyak bermimpi dan terus bergerak untuk mewujudkan perubahan yang dimulai dari dirinya dan perempuan Jawa yang pada saat itu tidak mendapatkan akses pendidikan. Di usia 12 tahun dia sudah membuka kelompok belajar di rumahnya.
Terlepas dari sikapnya yang “pasrah sumarah”, menjadi bagian poligami suaminya, jiwanya yang sesungguhnya menginginkan kemerdekaan yang nyata, kesetaraan, persamaan kesempatan, perjuangan hak-hak perempuan, bisa disebut sebagai sebuah aufklarung, zaman pencerahan bagi Indonesia, yang saat itu masih disebut Hindia Belanda.
Pengetahuan Kartini tentang penindasan, ketidakadilan, dan ‘terang’ kebebasan ia dapatkan bukan hanya dari Marie-Ovink Soer, tetapi juga dari ayahnya, Sosroningrat, dengan cara ia ‘menebus dosa” atas pingitan yang dilakukan kepada Kartini, dengan tetap menyediakan buku-buku dan segala tulisan dengan tema gerakan feminisme dan sosialis. Seperti Kartono, kakak Kartini yang juga mahasiswa pertama yang belajar di Belanda, selalu memberikan oleh-oleh buku bacaan soal pengetahuan dun ia moderen dan novel-novel untuk Kartini.
Kartini sangat menggemari tulisan-tulisan Max Havelaar atau Multatuli, seorang Belanda yang berpihak kepada kepentingan Hindia Belanda. Kartini belajar tentang arti kata “Penindasan” dari Multatuli. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon-Mandri, Kartini bercerita bahwa ia membaca karangan Multatuli, ”Gebed van de onwetende” (Dua orang yang tidak tahu). Ia juga membaca dan ingin tahu jalannya politik balas budi Belanda melalui buku-buku pemberian ayahnya, seperti “Kerja Kemasyarakatan di India”.
Kartini mencintai kegiatan membaca. Dalam suratnya kepada Prof G.K. Anton, ia bercerita bahwa kegiatan membaca yang dilakukannya adalah dari pukul tujuh sampai tiga dini hari. Ia juga mengulas buku-buku yang dibacanya lantas bercerita kepada sahabat penanya.
Dalam rangka memperingati Hari Kartini tahun 2025, dengan tujuan meningkatkan literasi tentang Kartini, NGO-PHI kali ini mengangkat obrolan dengan tema "Membaca Kartini"
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yayasan YAPHI
Telp/Fax: (0271) 710808
Website: https://www.suarakeadilan.org/
Email: [email protected]
Instagram: @redaksi.suarakeadilan / redaksi.suarakeadilan
Доступные форматы для скачивания:
Скачать видео mp4
-
Информация по загрузке: