Lagu Wajib Nasional | Maju Tak Gentar Karya Cornel Simanjuntak (dengan Lirik)
Автор: Kapur Sabak
Загружено: 2022-05-30
Просмотров: 2236
Lagu Wajib Nasional | Maju Tak Gentar (dengan Lirik)
Maju tak gentar
Membela yang benar
Maju tak gentar
Hak kita diserang
Maju serentak
Mengusir penyerang
Maju serentak
Tentu kita kita menang
Reff :
Bergerak bergerak
Serentak menerkam
Menerjang terjang tak gentar
Tak gentar tak gentar
Menyerang menyerang
Majulah majulah menang
Sumber Lirik:
https://musiklib.org/lagu_wajib_nasio...
Musik dan Vokal oleh Smamda Voice Jawa Timur
Sumber Video:
• MAJU TAK GENTAR + Lirik (Lagu Wajib Nasion...
PROFIL CORNEL SIMANJUNTAK
Cornel Simanjuntak lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 1921. Ia lahir dari keluarga Katolik yang taat. Ayahnya, Tolpus Simanjuntak, berperawakan tinggi besar, keras, dan kuat watak serta pribadinya. Sebelum Revolusi pecah dan ikut bertempur di beberapa palagan, kedua orangtua Cornel mengharapkan ia menjadi seorang guru.
Dalam Cornel Simanjutak: Komponis, Penyanyi, Pejuang (1987), Binsar Sitompul berkisah bahwa pada 1939 ia bertemu Cornel di pelabuhan Belawan, Medan. Ketika itu, mereka hendak berlayar ke Tanjung Priok, Jakarta. Mereka baru lulus dari Hollandsche Inlandsche School (sekolah dasar) di Medan dan hendak melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool (sekolah guru) Xaverius College Muntilan, Jawa Tengah, yang dipimpin pastor-pastor Jesuit.
Di sekolah barunya di Muntilan, Cornel biasa dipanggil Siman. Ia aktif dalam berbagai kegiatan seperti pertandingan sepakbola, kasti, berenang. Kalau ia ikut serta, hampir pasti menjadi pimpinan rombongan. Hal itu kemudian membuatnya menjadi populer dan disegani. Di Xaverius College, Cornel juga mengasah bakat seninya di bidang musik. Berbagai alat musik yang biasa dipergunakan untuk orkes simfoni seperti biola, biola alto, cello, kontrabas, suling, hobo, clarinet, fagot, trompet, corno, trombone, tuba, dan perkusi semuanya tersedia lengkap.
Pada zaman pendudukan Jepang, Cornel hijrah ke Jakarta dan aktif di Keimin Bunka Shidosho, kantor kebudayaan yang menjadi pengarah para seniman. Beberapa lagu propaganda ia ciptakan. Misalnya "Bikin Kapal", "Menanam Kapas", "Bekerja", dan "Menabung".
Lagu-lagu itu lincah dan segar, menganjurkan dan mendorong bangsa Indonesia untuk membantu Jepang memenangkan perang melawan Sekutu. Hal ini mengundang kecaman dari para aktivis anti-Jepang. Namun Cornel membela diri. Menurutnya, kerja di lembaga bikinan Jepang itu bukan untuk mendukung Jepang, melainkan untuk mendidik rakyat.
“Ini bukan lagi khianat. Tetapi saya telah meniadakan diri saya sendiri. Jangan lihat keindahannya, melainkan hasilnya sebagai sesuatu yang berfaedah: mendidik rakyat untuk mengenal tangga nada yang lebih kompleks,” ujarnya seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam Lirik, Laut, Lupa: Asrul Sani dan Lain-lain, Circa 1950 (1997).
Ihwal kiprah Cornel di Keimin Bunka Shidosho juga merisaukan Binsar Sitompul. Ia sempat berpikir bahwa Cornel telah menjadi antek Jepang, menyerahkan dirinya untuk diperalat sebagai mesin seni kaum Negeri Matahari Terbit. Binsar semakin galau, sebab sepanjang mengenal Cornel, ia yakin bahwa kawannya itu tidak mungkin menjadi kolaborator Jepang dan menjual dirinya untuk kepentingan penguasa dan penindas. Sejak itu, Binsar semakin rajin mengikuti siaran radio dari Jakarta. Kemudian ia mendengar lagu "Kupinta Lagi" ciptaan Cornel. Dan mulai saat itu Binsar yakin bahwa Cornel tidaklah bermaksud untuk menjadi kolaborator Jepang, tapi hanya memanfaatkan kesempatan untuk tetap bisa mencipta.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa tahun 1960-an dari Jurusan Sejarah UI, punya impresi tersendiri kepada lagu-lagu Cornel. "Seolah-olah idealisme pemuda," tulis Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1997), "akan mati, padahal hari sudah jam empat. Alangkah sayang karena ‘kemerdekaan’ akan segera datang.
Dalam Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010), Rosihan Anwar menyatakan, pada pertengahan Januari 1946 Cornel Simanjuntak mengungsi ke Yogyakarta. Ia kemudian tinggal di Jalan Sumbing No. 5 bersama keluarga Usmar Ismail dan Ida Sanawi. Kesehatannya mulai menurun karena dihajar TBC dan dirawat di sanatorium di Pakem. “Waktu dia meninggal dunia, saya kebetulan ada di Yogya. Di tepi liang kuburnya, sebagai salam perpisahan dengan Cornel Simanjuntak, saya deklamasikan sajak pujangga kemerdekaan Filipina, Jose Rizal, yang saya terjemahkan di zaman Jepang: Adios Patria Adorada. Selamat tinggal Tanah Airku,” tulis Rosihan.
Sumber Profil C Simanjuntak:
https://tirto.id/hentakan-revolusi-da...
#indonesia #laguindonesia #laguwajibnasional #majutakgentar #csimanjuntak #cornelsimanjuntak #indonesiamerdeka #kemerdekaanindonesia #laguperjuangan
Доступные форматы для скачивания:
Скачать видео mp4
-
Информация по загрузке: