Mengapa Allah tidak tampil sejelas Matahari bersinar?Mengapa Allah tidakjelas sehingga multitafsir?
Автор: LayarTEOLOGI
Загружено: 2025-06-27
Просмотров: 363
Mengapa Allah tidak tampil sejelas Matahari bersinar?Mengapa Allah tidakjelas sehingga multitafsir? Problem Epistemologi [Belajar dari John Hick]
The New Frontier of Religion and Science
Religious Experience, Neuroscience and the Transcendent - 11--12- John Hick
Masalah Epistemologis: Ketidakmampuan Membuktikan Realitas Eksternal
◦ Kita semua percaya ada dunia di sekitar kita yang memengaruhi indra kita, memberikan kita kesadaran yang andal tentang dunia tersebut, dan memungkinkan kita bertindak di dalamnya
◦ Namun, kita tidak dapat memberikan argumen logis untuk mendukung keyakinan ini, karena argumen apa pun akan mengandalkan bukti indra, yang berarti mengasumsikan apa yang ingin dibuktikan.
◦ Secara praktis, "mengetahui" berarti "keyakinan yang dibenarkan dengan baik", bukan visi kebenaran yang idea.
◦ Prinsip Kepercayaan Kritis: Kita menerima apa yang tampak ada sebagai ada, kecuali jika kita punya alasan untuk meragukannya. Ini bukan kepercayaan buta, melainkan selalu terbuka untuk revisi (misalnya, membedakan mimpi dari kenyataan, atau mengenali ilusi seperti fatamorgana). Kepercayaan kritis adalah dasar kita dalam menjalani hidup dan bagian dari kewarasan.
•
Tantangan Penerapan Kepercayaan Kritis pada Pengalaman Religius:
◦ Meskipun prima facie seharusnya berlaku, ada perbedaan besar antara pengalaman indrawi dan pengalaman religius:
1.Universalitas: Pengalaman indrawi bersifat universal dan memaksa kita; semua manusia dan hewan merasakannya
. Sebaliknya, pengalaman religius (kesadaran akan Transenden) tidak universal dan tidak memaksa.
2.Keseragaman: Pengalaman indrawi sangat seragam di seluruh dunia. Pengalaman religius, yang terstruktur dalam konsep keagamaan, mengambil beragam bentuk yang sangat berbeda di berbagai budaya dan zaman (misalnya, dari Tuhan yang menakutkan hingga Tuhan yang penuh kasih dalam Kristen, atau konsep Tuhan yang bertentangan dalam monoteisme).
3. Objek yang Bertentangan: Objek pengalaman indrawi adalah dunia fisik yang sama. Objek pengalaman religius bukanlah realitas suci atau ilahi yang sama; ada banyak laporan yang saling bertentangan yang menyiratkan bahwa jika satu pengalaman kognitif otentik, sebagian besar yang lain mungkin tidak otentik
. Bahkan di dalam satu agama, ada perbedaan dan kontradiksi.
◦ Perbedaan-perbedaan ini menjadi argumen kuat bahwa prinsip kepercayaan kritis tidak dapat diterapkan pada keduanya.
•
Solusi Epistemologis: Mengalami sebagai Menginterpretasi dan Kebebasan Kognitif
◦Realisme Kritis: Ini adalah posisi tengah antara realisme naif (dunia persis seperti yang tampak) dan idealisme (dunia hanya ada dalam kesadaran kita)
. Realisme kritis menyatakan bahwa ada dunia yang ada secara independen dari kita, tetapi kita hanya menyadarinya sebagaimana struktur bawaan pikiran manusia mampu membawa dampak realitas tersebut ke dalam kesadaran kita sebagai dunia fenomenal. Kita "mengalami sebagai" — menginterpretasikan dampak lingkungan kita
.
◦Tingkat Makna:
▪
Makna Empiris/Natural: Objek diskrit (misalnya, pisau dan garpu) yang kita alami sebagai elemen dalam situasi yang lebih besar (misalnya, makanan)
. Ini adalah tingkat dasar.
▪
Makna Etis: Timbul dari situasi empiris, di mana kita merasa memiliki kewajiban moral terhadap orang lain sebagai sesama manusia
.
▪
Makna Religius: Tingkat makna lebih lanjut yang menopang situasi empiris (dan etis)
. Contohnya adalah mistisisme alam, di mana situasi fisik dialami memiliki dimensi makna tambahan seperti tujuan dan "kebenaran" dari segalanya
.
◦
Hierarki Kebebasan Kognitif: Tingkat makna ini berkorelasi dengan tingkat kebebasan kognitif
:
▪
Lingkungan Fisik: Kita memiliki kebebasan minimal dalam kesadaran kita; lingkungan fisik memaksa dirinya kepada kita
.
▪
Signifikansi Etis: Kita memiliki tingkat kebebasan yang lebih besar untuk menyadari klaim moral, tetapi juga kemampuan untuk menghindari kesadaran tersebut melalui penipuan diri (misalnya, "kerusakan tambahan" untuk korban sipil)
.
▪
Pengalaman Religius: Kita memiliki tingkat kebebasan kognitif yang bahkan lebih besar. Realitas ilahi tidak memaksa dirinya kepada kita, melainkan meninggalkan ruang untuk respons yang tidak terpaksa
. Ini dijelaskan oleh gagasan "jarak epistemologis" – bahwa Tuhan atau realitas transenden sengaja "menyembunyikan" diri (deus absconditus) untuk memungkinkan kebebasan moral manusia. Prinsip yang sama berlaku untuk agama non-teis; realitas tertinggi (misalnya, Brahman, Dharmakaya, Tao) hanya dapat dipahami melalui usaha dan keterbukaan yang disengaja
.
◦
Kesimpulan Solusi: Ketidakhadiran universalitas dan keseragaman dalam pengalaman religius tidak mengesampingkan pengalaman tersebut sebagai delusi. Sebaliknya, ini adalah hasil dari kebebasan kognitif dan jarak epistemologis yang memungkinkan respons manusia yang tidak terpaksa
. Oleh karena itu, adalah rasional bagi mereka yang mengalami Transenden untuk memercayainya, karena ini sesuai dengan prinsip kepercayaan kritis yang diadaptasi untuk tingkat makna yang lebih tinggi.
Доступные форматы для скачивания:
Скачать видео mp4
-
Информация по загрузке: