PASAR GEDEBAGE: DISKUSI FOOD TRACEABILITY BERSAMA MI KOCOK

BERDISKUSI DI PASAR RAKYAT, MENGAPA TIDAK?

Jelas bukan Pasar Santa, Pasar Cihapit, atau Hallway Space di Pasar Kosambi yang sudah establish menjadi ruang diskusi-diskusi. Gerakan kreatif berhasil menghidupkan ruang-ruang kosong di pasar rakyat. Sebuah prestasi.

Namun apakah itu cukup? Di Indonesia ada 18 ribuan pasar rakyat. Baru ada tiga pasar yang menjadi ruang kreatif, ruang-ruang diskusi yang meng-generate aktivitas ekonomi. Tiga butir dibandingkan 18 ribu? Ah, itu mah kerikil. Memang bisa membuat geli, namun sebagai jumlah, masih perlu PASAR-PASAR LAIN YANG DIKEMBANGKAN SEBAGAI RUANG KREATIF.

Bersama Direktur Marketing Asosiasi Pasar Rakyat Indonesia (APARSI), pak Galuh Karsana, kami mencoba berdiskusi serius di dalam pasar. Berdiskusi sambil berkulineran. Diskusi kami adalah tentang potensi membuat platform digital untuk Food Traceability di Pasar Rakyat. Sebuah upaya menyusun proposal untuk Riset Kolaborasi Unggulan Berdampak (RIKUB). Sambil diskusi, sambil kulineran, apa salahnya.

Ruang Kuliner yang kami pilih adalah Warung Mi Kocok Katagihan. Warung ini sudah eksis selama dua generasi. Jadi memang punya credentials yang kuat. Jangan tanya rasanya, wuiih…. Bukan mi kocok biasa. Dan tentu saja, kami sekalian preliminary survey untuk food traceability. Jadi, enak dan sehatnya produk kuliner ini, bisa dilacak secara transparan.

Video ini sebenarnya bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) 2025, tentang hybrid space ruang narasi kuliner lokal. Simpelnya Hybrid Space adalah dasar ontologis untuk menggabungkan ruang praktikal dan ruang virtual. Ah, kalau mau sampai Digital Twin atau Augmented Reality, meskipun pernah kami coba, namun masih sangat jauh untuk bisa diimplementasikan secara mudah. Kami pakai yang biasa-biasa dulu: makannya di ruang praktikal, diskusinya ditayangkan di ruang virtual. Ada proses pengetahuan yang tersirkulasi dalam aktivitas ekonomi. Ekonomi bergerak, budaya berkembang.

Kuliner di Pasar Rakyat, siapa takut…