Duka di Exit Tol Semarang: Menguak Tragedi Maut Bus Cahaya Trans

TRIBUNSOLO.COM - Malam itu, Senin (22/12), kabin Bus Cahaya Trans B 7201 IV seharusnya menjadi ruang penuh hangat. Di dalamnya, 31 penumpang sedang merajut mimpi tentang libur Natal di Yogyakarta. Ada yang sudah membayangkan gudeg hangat, ada pula yang tak sabar memeluk orang tua di kampung halaman. Namun, tepat di menit ke-30 setelah tengah malam, senyapnya Tol Semarang berubah menjadi jerit pilu yang memecah kegelapan.


Bus yang berangkat dari kawasan Jatiasih, Bekasi ini melaju membelah malam. Namun, saat memasuki exit Tol Krapyak, maut seolah sudah menunggu di tikungan tajam RAM 3 yang menurun. G (22), sang sopir cadangan yang memegang kendali, diduga kehilangan orientasi medan.

Kecepatan yang terlalu tinggi di jalur menikung membuat bus raksasa itu tak ubahnya gasing yang kehilangan keseimbangan. Besi-besi tua itu menghantam pembatas jalan dengan dentuman memekakkan telinga, sebelum akhirnya roboh ke sisi kiri. Di sanalah, dalam hitungan detik, tawa dan obrolan penumpang berubah menjadi keheningan yang mencekam.

Enam belas nyawa. Bagi banyak orang, itu mungkin hanya angka dalam statistik kecelakaan akhir tahun. Namun, di koridor dingin RSUP dr. Kariadi, angka itu adalah ayah yang tak kunjung pulang, ibu yang meninggalkan pelukan terakhir, dan anak-anak yang mimpinya terhenti di aspal dingin Semarang.

Mayoritas korban meninggal berada di sisi kiri bus—sisi yang menahan seluruh beban saat kendaraan terhempas. Luka-luka di kepala dan dada menjadi saksi bisu betapa kerasnya hantaman malam itu. Sementara itu, 17 penumpang lainnya harus berjuang melawan trauma dan nyeri di ruang-ruang perawatan RSUD Tugurejo dan RS Columbia Asia.


Penyelidikan awal menyisakan fakta pahit. Bus Cahaya Trans tersebut diduga tidak terdaftar dalam aplikasi resmi angkutan penumpang. Lebih dari sekadar administrasi, ini adalah soal standar keamanan yang dipertaruhkan. G, sang sopir muda, kini harus berhadapan dengan hukum, membawa beban penyesalan atas 16 nyawa yang tak akan pernah sampai ke tujuan.

Tikungan Krapyak kini kembali sunyi, menyisakan bekas goresan di pembatas jalan dan serpihan kaca yang berkilau di bawah lampu jalan. Tragedi ini menjadi pengingat pedih bagi kita semua: bahwa di balik kemudi, ada tanggung jawab ribuan doa keluarga yang menunggu di rumah.


Yogyakarta mungkin tetap bersinar dengan lampu-lampu kotanya, namun bagi keluarga korban Bus Cahaya Trans, perjalanan kali ini tak akan pernah selesai. Mereka tidak sampai ke Malioboro, melainkan terhenti di sebuah titik sunyi di pinggiran Semarang—sebuah titik yang kini ditandai dengan duka yang mendalam.