Pacarku Sakit Sebulan, Demi Biaya Obat Aku Antar Makanan Siang Malam

Sebulan penuh, hidupku hanya berputar di dua tempat: rumah sakit dan jalanan. Pacarku jatuh sakit tiba-tiba. Awalnya kami mengira hanya kelelahan biasa, tapi kondisi itu semakin parah. Pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan, dan setiap hasilnya hanya membawa satu kenyataan pahit—biaya pengobatan yang terus membengkak.

Dalam waktu satu bulan saja, uang yang harus dikeluarkan mencapai jumlah yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Tabunganku habis. Tidak ada lagi yang bisa dijual. Tapi melihatnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, aku tahu satu hal: aku tidak boleh menyerah.

Aku mulai bekerja sebagai pengantar makanan. Pagi, siang, sore, malam—bahkan dini hari. Saat orang lain tidur, aku masih di jalan. Saat hujan deras, aku tetap berangkat. Tanganku gemetar karena lelah, kakiku nyeri, tapi setiap notifikasi pesanan terasa seperti harapan kecil untuk satu hari tambahan perawatan baginya.

Kadang aku pulang dengan badan basah kuyup. Kadang hanya sempat makan sekali sehari. Tapi setiap kali dia menggenggam tanganku dan tersenyum lemah sambil berkata, “Terima kasih sudah bertahan,” semua rasa lelah itu seolah menghilang.

Aku tidak mengejar kekayaan.
Aku tidak memikirkan masa depan yang jauh.

Yang kupikirkan hanya satu: asal dia bisa sembuh.

Cerita ini bukan tentang pahlawan besar. Ini adalah kisah sederhana tentang seorang pria biasa yang memilih bekerja tanpa henti demi orang yang ia cintai. Tentang cinta yang diuji oleh kenyataan, tentang kelelahan yang tidak terlihat, dan tentang harapan yang tetap menyala meski hidup terasa berat.

Jika kamu pernah mencintai seseorang sampai rela mengorbankan segalanya, mungkin kamu akan memahami perasaan ini.

Satu kisah penuh emosi, tonton sekali sampai tamat.