Pacarku 3 Tahun Tak Bisa Lupakan Cinta Pertama, Ada Kamar Terkunci untuknya

Selama tiga tahun, aku percaya bahwa waktu bisa mengalahkan segalanya. Aku pikir kebersamaan, perhatian, dan kesetiaan sudah cukup untuk membuat seseorang melupakan masa lalu. Aku salah.

Dia adalah pacarku. Kami bersama selama tiga tahun penuh. Kami tertawa, bertengkar, berdamai, dan merencanakan masa depan seperti pasangan pada umumnya. Dari luar, hubungan kami terlihat stabil dan bahagia. Tidak ada yang menyangka bahwa di balik semua itu, hatinya masih menyimpan satu nama yang tidak pernah pergi.

Aku baru menyadarinya ketika suatu hari aku berkunjung ke rumahnya.

Di sudut rumah itu, ada sebuah kamar yang selalu terkunci. Tidak ada yang boleh masuk. Ibunya tahu, adiknya tahu, dan aku pun tahu—tapi tidak pernah berani bertanya. Hingga akhirnya, tanpa sengaja, aku mendengar kebenaran yang membuat seluruh duniaku runtuh.

Kamar itu bukan sekadar ruang kosong.
Itu adalah janji.

Janji yang ia buat untuk cinta pertamanya.
Janji bahwa kamar itu akan selalu ada untuk orang itu kembali suatu hari nanti.
Janji bahwa meski dia menjalani hidup baru, hati terdalamnya tidak pernah benar-benar kosong.

Saat aku berdiri di depan pintu kamar terkunci itu, aku sadar sesuatu yang menyakitkan: selama tiga tahun ini, aku bukan orang yang ia tunggu. Aku hanyalah seseorang yang mengisi waktu, sementara tempat terpenting di hatinya tetap terkunci rapat untuk orang lain.

Aku tidak dikhianati dengan perselingkuhan.
Aku tidak ditinggalkan secara langsung.

Namun, aku kalah oleh masa lalu yang tidak pernah selesai.

Cerita ini adalah kisah tentang cinta yang setengah hati, tentang hubungan yang terlihat utuh tapi retak di dalam, dan tentang seseorang yang akhirnya menyadari bahwa tidak semua janji dibuat untuk masa depan—beberapa janji justru mengikat seseorang di masa lalu.